Lontong Lemprak Khas Batang: Kuliner Sepuh Tiga Generasi

BATANG, INFOBATANG.COM – Lontong lemprak merupakan salah satu sajian legendaris di area Batang dan Pekalongan. Para pedagang di kedua kota tersebut, jika ditelusuri, ternyata masih berkerabat. Beberapa waktu yang lalu, Infobatang berkesempatan menikmati sekaligus mengulik informasi terkait makanan yang konon berakar dari Dusun Sawahan, Batang ini.

Suasana alun-alun Pekalongan sore itu nampak cerah. Matahari telah condong ke barat dan memancarkan sinar berwarna jingga. Lalu-lintas di sekitar Jl. Alun-alun utara Kota Pekalongan nampak tidak terlalu ramai.

Di dekat alun-alun, tepatnya di samping kantor Bank Mandiri, terdapat kompleks kios yang berisikan warung dan kantor layanan shuttle (travel). Beberapa warung yang ada di kompleks tersebut bisa dibilang menyajikan ragam kuliner legendaris. Salah duanya, warung garang asem H. Masduki dan warung yang kali ini akan kita bahas, yaitu warung lontong lemprak Hj. Emah.

Warung Lontong Lemprak Hj. Emah Jl. Alun-alun Utara Kota Pekalongan (Foto: Fiza Umami)



Warung Hj. Emah yang hari itu sudah buka sejak jam 6 pagi, dari luar nampak bersahaja. Di bagian depan terdapat sepasang wadah “dasaran” yang sepertinya terbuat dari anyaman bambu lengkap dengan bilah pikulan. Di dalam kios, terdapat sebuah meja panjang yang dikelilingi bangku plastik. Dua orang pelanggan laki-laki yang sepertinya ayah dan anak terlihat sedang menikmati sajian lontong opor.

Pada dasarnya, lontong lemprak memang lontong opor. Lontong lemprak memiliki bahan dan bumbu dasar yang persis seperti opor yang disajikan tiap kali lebaran. Namun, secara khusus lontong lemprak agak berbeda. Ia memiliki kekhasan dalam hal citarasa, penyajian, penataan serta cara berdagang para pedagangnya.

Satu porsi Lontong Lemprak (Foto: Fiza Umami)



Lontong lemprak biasanya dijajakan dengan pikulan yang di kanan-kirinya terdapat keranjang atau wadah untuk menaruh opor dan lontong. Pedagang biasanya mempersiapkan sajian dalam posisi duduk. Posisi duduk mereka amat rendah dengan hanya ditopang bangku kecil (semacam dingklik) yang tingginya kurang lebih sama dengan tinggi keranjang.

Pranto Setyaji (Foto: Fiza Umami)



Para pembeli biasanya menunggu atau memilih jenis potongan daging ayam sambil duduk di bangku kecil dekat pikulan (layaknya orang mengantri gudeg di Jogja).
Setelah porsi siap, para pembeli akan membawa porsi dan menikmatinya sambil duduk lesehan atau “nglemprak”. Dari sinilah sebutan lontong lemprak berasal. Saat ini, di beberapa warung atau lapak, para pembeli sudah jarang menunggu dengan duduk di depan pikulan. Hal ini dikarenakan sudah ada karyawan yang siap melayani dan mengantar pesanan.

Salah satu usaha lontong lemprak yang telah berjalan puluhan tahun adalah lontong lemprak Hj. Emah. Pranto Setyaji (43 tahun) adalah generasi ketiga pemilik usaha tersebut. Kepada Infobatang, ia bercerita tentang riwayat lontong lemprak serta berbagi pengalaman mengenai pengelolaan usaha turun temurun yang digeluti keluarganya tersebut.

“Awal mula yang merintis usaha lontong lemprak khas Batang ini adalah kakek saya, yaitu Mbah Ahmad Durrahman”, ungkap Pranto. “Beliau awalnya berprofesi sebagai petani, tapi di sela-sela kesibukannya bertani, beliau mencoba berdagang lontong opor”, imbuh pria yang juga insinyur pertanian ini.

Pranto bercerita, kira-kira tahun 1955 kakeknya mulai berjualan dengan membuka lapak di daerah Grogolan, Pekalongan. “Kakek saya saat itu berjalan dari Sawahan (Batang) ke Grogolan (Pekalongan) sambil memikul dagangan”, ujar Pranto. “Di tengah perjalanan, biasanya beliau beristirahat di area depan pabrik tekstil (depan terminal Pekalongan sekarang)”, ujarnya.

Selama berdagang di Grogolan, Mbah Ahmad Durrahman merasa sepi pembeli. kemudian Ia berpindah lokasi di alun-alun Kota Pekalongan. “Saat itu alun-alun belum seramai sekarang, cuma ada 4 pedagang dan salah satunya kakek saya”, kata Pranto.

Di alun-alun Kota Pekalongan usaha lontong lemprak Mbah Ahmad Durrahman mulai berkembang. Dari yang awalnya satu lapak berkembang menjadi lima lapak di beberapa titik di alun-alun. “Usaha ini terus berjalan, dari awalnya membawa dagangan dengan dipikul, lalu memakai becak, hingga memakai angkot”, terang Pranto.

Hj. Emah yang merupakan ibunda Pranto, sejak kecil sering membantu ayahnya berjualan. Ia membantu melayani pembeli dan menjaga lapak. Aktivitas tersebut dijalani Hj. Emah hingga menikah dan memiliki anak. Pada sekitar 1990, usaha secara penuh dikelola oleh Hj. Emah karena Mbah Ahmad Durrahman sudah sepuh dan menginginkan pensiun.

Hj. Emah mengelola usaha lontong lemprak hingga 2019. Pada tahun tersebut, Hj. Emah sakit dan meminta anaknya Pranto yang saat itu bekerja di PT. Astra Agro Lestari untuk pulang. Pranto pun menuruti permintaan ibunya. Tak lama, Pranto memutuskan mengundurkan diri (resign) dari tempatnya bekerja untuk fokus merawat Ibunya.

“Awalnya, di tahun 2019 niat kami hanya fokus untuk merawat orang tua”, terang Pranto. Sambil merawat Ibunya, Pranto menggantikan Ibunya sebagai pengelola di warung lontong lemprak.

“Kebetulan kami sekeluarga cuma dua orang dan saya yang laki-laki, setelah bermusyawarah keluarga, saya diminta untuk fokus meneruskan usaha keluarga, akhirnya saya resign”, Pranto berterus terang.

Pranto dan istrinya mengaku agak kagok pada saat awal. Mereka terbiasa bekerja kantoran dengan jadwal dan gaji tetap. Tiba-tiba mereka harus mengelola sebuah usaha yang notabene terdapat unsur ketidakpastian.

“Awalnya memang berat, tapi mungkin berkah orang tua, semuanya bisa kami jalani dengan lancar”, tandas Pranto. Usaha lontong lemprak Hj. Emah tidak hanya mampu bertahan, namun kini malah berkembang.

Video wawancara dengan Pranto Setyaji



Para Pedagang Lontong Lemprak Batang-Pekalongan Ternyata masih Berkerabat

Menurut uraian Pranto, para pedagang lontong lemprak yang ada di Batang dan Pekalongan ternyata masih berkerabat.
“Beberapa pedagang yang ada di alun-alun Batang bisa dibilang masih keluarga besar Mbah Ahmad Durahman”, beber Pranto.

“Di Pekalongan, yang anak dari adiknya Mbah Ahmad Durahman (keponakan) itu ada dua lokasi terus ada dua keponakan lagi dari adiknya yang lain, jadi total ada empat lokasi di Pekalongan yang masih bersambung secara kekerabatan dengan Mbah Ahmad Durrahman”, Pranto menjelaskan.

Proses regenerasi ternyata tidak hanya terjadi dari sisi produsen. Dari sisi konsumen atau pelanggan pelanggan ternyata juga terjadi regenerasi. Ini tentu hal yang unik. “Belakangan kami menyadari, ternyata bukan hanya bakulnya yang berregenerasi, para pelanggan pun juga ternyata turun temurun”, ujar Pranto terkekeh.

Pranto menceritakan, beberapa waktu yang lalu Ia bertemu dengan teman sekolahnya semasa SMP yang mampir ke warungnya. Mereka berdua sama-sama kaget. “Lha kok ternyata kamu yang jualan, dulu waktu kecil aku biasa diajak bapakku njajan di sini”, kata Pranto menirukan ucapan temannya.

Alfin Hariska, salah seorang food vloger yang turut menemani Infobatang memberikan testimoni positif terhadap lontong lemprak Hj. Emah. Alfin yang notabene generasi z, ternyata menilai lontong lemprak Hj. Emah sangat sepadan dan istimewa untuk dicoba. “Terus terang saya menyesal baru tahu kalau ada kuliner legend lontong lemprak Hj. Emah”, ujar Alfin. “Kemarin-kemarin mending saya ajak pacar ke sini daripada ke kafe”, kata Alfin sambil tersenyum. (Fiza Umami)







Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *