Seorang pria paruh baya dengan penuh sopan menyajikan semangkok tauto. Kuah panas mengeluarkan uap tipis, aroma kaldu ayam tercium harum. Sebagaimana umumnya soto di daerah Pekalongan Raya, soto Sahlan juga menggunakan tauco, sehingga biasa disebut Tauto. Namun, Tauto Sahlan bukanlah jenis Tauto mlekoh berlinang lemak dan berkuah kental. Kuah Tauto Sahlan cenderung berlemak tipis, dan walaupun tidak terlalu mlekoh namun Ia memiliki aroma kaldu yang kuat serta sisa rasa (after taste) yang membuat nyaman. Perpaduan bumbunya begitu pas sehingga tidak memunculkan sensasi mblenger ataupun panas dalam karena rasa pedas dan minyak yang berlebihan.
Sang peracik utama, Mbah Sahlan (87 tahun) sepertinya memang menginginkan racikan tauto yang minimalis namun bercita rasa kuat. Filosofi tiap-tiap pedagang atau peracik makanan memang berbeda-beda. Ada yang meracik makanan sedemikian rupa agar makanan yang ia racik dipersepsikan bloboh. Adapula yang walaupun tak terlalu masif atau besar secara ukuran, namun menawarkan citarasa unik tersendiri.
Dalam dunia perbaksoan misalnya, pada salah satu ceruk, ada sekelompok pedagang bakso yang seakan-akan berkompetisi “gede-gedean” bola bakso. Namun pada ceruk yang lain ada pula segelintir pedagang bakso yang seakan bergeming dan tidak ikut berkompetisi soal ukuran bola bakso. Segelintir pedagang ini tetap anteng, yakin dan “tan keno owah gingsir” menyajikan bakso racikannya yang ia yakini tetap memiliki keunikan cita rasa.
Dalam hal ini, Tauto Sahlan adalah jenis Tauto masuk dalam kategori yang kedua. Karena kuahnya yang tak terlalu tebal, ia tetap bisa dinikmati bahkan di pagi hari sekalipun tanpa khawatir perut mules. Hal senada bisa kita temukan pada ragam soto di kota-kota lain seperti misalnya soto Kudus, soto Boyolali, atau soto Semarang, di mana sebagian besar buka dari pagi hingga siang hari.
Tak terasa semangkok Tauto pun tandas. Teh hangat mengaliri tenggorokan. Di luar masih gerimis kami pun mulai membuka obrolan dengan pria yang tadi meracik dan menyajikan Tauto tersebut. Namanya Suprapto, usianya 60 tahun. Ia adalah anak tertua dari 6 bersaudara putra Mbah Sahlan. Ia baru saja pensiun dari pekerjaannya di PT Pagilaran. “Juli 2021 saya pensiun, lalu saya memutuskan untuk meneruskan usaha warung soto bapak”, ujarnya.
Kepada @infobatang Suprapto menceritakan bahwa sebelumnya memang sempat ada kebimbangan di keluarga Mbah Sahlan terkait siapa yang akan meneruskan usaha warung tautonya. “Kami 6 bersaudara semuanya laki-laki, adik saya pas, sudah meninggal, jadi kini kami berlima”, Suprapto menjelaskan. “Dari kelima bersaudara itu, 2 diantaranya tinggal dan bekerja di luar kota sedangkan adik saya yang lain telah memiliki pekerjaan masing-masing, kami memang sempat bingung”, tambahnya. “Bapak memang pernah berujar, kalau bukan anak-anaknya sendiri, lantas siapa yang akan meneruskan usaha Tauto ini”, ungkap Suprapto. “Saya juga menyadari bahwa adik-adik saya memiliki tanggung jawab pekerjaan masing-masing yang tidak bisa ditinggal begitu saja. Pada sisi yang lain, kondisi bapak semakin renta, hal ini saya renungkan dalam-dalam sekitar dua tahun yang lalu menjelang saya pensiun”, beber Suprapto.
Selama menjadi karyawan PT. Pagilaran, Suprapto mengaku pernah ditempatkan di berbagai perkebunan di sekitar Jawa Tengah dan DIY. Pertama kali, ia ditempatkan di Andongsili, Batang, lalu ia juga pernah ditempatkan di Paninggaran, Kab. Pekalongan dan Samigaluh, Kulonprogo, DIY. “Saya menjadi karyawan PT. Pagilaran sejak 1984, lalu pensiun pada 2021 kemarin, jadi saya menjadi karyawan memang cukup lama yaitu 37 tahun”, terang Suprapto.
Suprapto dan Istrinya, Wigati (53 tahun) kini meneruskan usaha Mbah Sahlan berjualan Tauto. Cara berjualan dengan ditemani istri ini nampaknya juga dipertahankan oleh Suprapto. Sebab, dulu sewaktu berjualan Mbah Sahlan juga ditemani istrinya yang bernama Thuk (85 tahun).
Mengenai cita rasa, tak ada yang berubah dari warung tauto yang telah berdiri sejak 1962 ini. Dari mulai pemilihan bahan, racikan bumbu, hingga cara menyajikan semua masih sama. “Rasanya masih sama seperti dulu sewaktu saya diajak oleh bapak saya mampir ke sini pada era 90-an”, ujar salah satu pembeli yang kebetulan saat itu juga “ngiras “ bersama @infobatang. Mbah Sahlan memang telah pensiun, tapi racikan sotonya tetap lestari karena warungnya kini diteruskan oleh generasi kedua. Anda yang penasaran sesekali bisa mampir di warungnya di depan Kantor Telkom Bandar. (FU)