Sosok Virtual dan Medsos: Terpesona Dunia Tipu-tipu?

Oleh : Fiza Umami

BATANG, INFOBATANG.COM – Di dunia media sosial yang semakin terhubung, munculnya sosok virtual yang memiliki banyak pengikut telah menjadi fenomena yang menarik perhatian. Dari influencer AI hingga karakter virtual yang menghebohkan, mereka memiliki daya tarik sendiri. Mari kita telaah fenomena ini dalam artikel yang bisa anda baca sambil menyeruput kopi ini.

Di era media sosial, sosok-sosok virtual seperti ini tak jarang kita temui justru menjadi bintang. Karakter virtual seperti Elina Devia atau Lentari Van Lorrainne telah mencuri hati penggemar mereka dengan gaya hidup yang modis dan cerita-cerita menarik. Mereka menawarkan sesuatu yang unik, mengejutkan kita dengan interaksi dan penampilan yang tampak sangat manusiawi. Munculnya sosok-sosok virtual tersebut tentu merupakan sebuah keniscayaan dari teknologi yang satu dekade belakangan perkembangannya sangat pesat, yaitu artificial intelligent (AI).

Lentari Van Lorrainne
(Sumber: IG @lentaripagi)


Sosok Influencer Virtual

Elina Devia dikenal sebagai ratu bunglon. Baik melalui foto atau video, ia sering terlihat melakukan berbagai aktivitas. Dari mulai jalan-jalan, joget, hingga berolahraga. Tak jarang para pengikut di akun media sosial Elina tak menyadari bahwa sosok Elina merupakan sosok rekaan. Dibalik Elina ada kreator yang menggunakan teknologi deepfake.

Sampai saat ini, belum diketahui apakah wajah yang dibuat dengan deepfake tersebut merupakan wajah asli (terdapat sosok asli pemilik wajah) atau merupakan wajah yang juga hasil rekaan face generator (rekaan AI, tidak ada sosok asli). Belum ada klarifikasi mengenai hal ini dari kreator Si Ratu Bunglon.

Berbeda dengan kreator Elina, kreator Lentari Van Lorraine secara jelas memberikan informasi kepada pengikut medsos bahwa sosok yang mereka tampilkan merupakan sosok rekaan. Imagine 8 Studio yang merupakan kreator Lentari mengklaim bahwa sosok yang mereka tampilkan merupakan idola virtual pertama di Indonesia yang dibuat dengan AI. Mudahnya, Lentari bukanlah manusia. Ia merupakan citra hasil rekaan kecerdasan buatan.

Mengapa Kita Terpesona?

Mengapa kita terpesona oleh sosok virtual ini? Boleh jadi karena mereka menawarkan semacam “kesegaran” di tengah banjir konten yang dibagikan di medsos. Mereka juga menawarkan perspektif yang unik dan seringkali tampil dengan cerita-cerita yang mampu membuat kita seakan terhipnotis. Lebih jauh, sosok-sosok virtual ini ditampilkan sebagai sosok perempuan yang memiliki daya tarik (juga sensualitas) yang membuat pengikut mereka bertambah terus menerus.

Jika ditarik mundur, tentu ada alasan khusus mengapa para insinyur di bidang AI mencitrakan karakter yang mereka buat sebagai sosok yang feminin. Hal ini bisa kita perhatikan dari karakter Google Assistant, SIRI dan karakter -karakter AI lain yang dicitrakan sebagai perempuan.

Dalam kajian sosiologi, feminitas dinilai mengutamakan daya tarik dan kelemah-lembutan alih-alih daya dorong dan kekerasan sebagai kekuatan utama. Kelembutan bagi sosok feminin bukan merupakan kelemahan atau kekurangan, tapi justru merupakan kekuatan dan keunggulan.

Kita sekarang memasuki apa yang oleh para filosof sebut sebagai hiperrealitas. Hiperrealitas adalah konsep dalam filsafat dan budaya yang merujuk pada situasi di mana perbedaan antara realitas yang sebenarnya dan representasinya menjadi kabur atau terhapus. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Jean Baudrillard.

Hiperrealitas dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk media, budaya populer, dan teknologi. Contoh hiperrealitas dapat ditemukan dalam media sosial, di mana gambar dan cerita yang dibagikan sering kali menggambarkan kehidupan yang diidealisasi atau disempurnakan, jauh dari realitas sehari-hari.

Orang dapat merasa bahwa apa yang mereka lihat di media sosial adalah realitas, meskipun sebenarnya itu adalah representasi yang sangat disunting. Dalam hiperrealitas, perbedaan antara realitas dan citranya menjadi sangat samar, sehingga orang mungkin mengalami kesulitan dalam membedakan antara keduanya. Konsep ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana teknologi dan media modern memengaruhi persepsi kita tentang realitas, identitas, dan budaya. Dalam bahasa populer, hiperrealitas sering diungkapkan sebagai “dunia tipu-tipu”.

Apakah Ini Ancaman?

Boleh jadi kita merasa agak cemas. Apakah sosok virtual ini akan menggantikan manusia dalam pengaruh dan popularitas? munculnya sosok virtual yang menjadi
influencer media sosial boleh jadi merupakan ancaman bagi bakat-bakat yang berkompetisi di ceruk yang sama. Influencer virtual betul-betul dihadirkan sebagai sosok yang sempurna setidaknya dalam citra visual, sedangkan influencer asli (manusia) hadir sebagai sosok yang secara inheren berkekurangan. Untuk merubah tampilan visual, influencer asli perlu upaya ekstra seperti makeup atau bahkan operasi plastik, sedangkan bagi kreator influencer virtual, upaya yang dilakukan sekedar mengetikkan perintah program atau kode tertentu.

Kita semua tentu perlu bertindak bijak. Kecerdasan buatan secara perlahan mulai mengambil peran. Bukan tidak mungkin, peran yang AI ambil semakin lama akan semakin dominan. Mengutip Elon Musk, AI secara umum memang bisa dikendalikan, ia menjadi berbahaya justru ketika digunakan sebagai alat oleh satu manusia terhadap manusia lain. Akankah khalayak secara dini menyadari? Atau justru “mau” tertipu sehingga terlena dan terus menikmati?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *