Sosok: Mohammad Hikmat, Guru Teladan, Atlet Berprestasi yang Juga Penyandang Disabilitas (Bag. 1)

INFOBATANG.COM, BATANG – Menyandang disabilitas sejak lahir, tak membuat Mohammad Hikmat patah semangat. Keterbatasan tak menyurutkannya untuk berprestasi. Guru berusia 30 tahun ini juga dikenal sebagai atlet yang telah beberapa kali meraih medali.

Di media sosial, Hikmat dikenal sebagai kreator konten yang rajin membagikan berbagai video. Ia membagikan beragam konten dari mulai olah raga, jalan-jalan, hingga review otomotif. Infobatang berkesempatan berbincang-bincang dengan ayah satu anak ini pada Senin (1/1) yang lampau.

Obrolan bersama Moh. Hikmat di saluran YT Infobatang TV



Kepada Infobatang, Hikmat bercerita panjang lebar. Wawancara berdurasi kurang lebih dua jam dilakukan di sebuah ruangan tempat ia biasa mengajar, yaitu di Sekolah Luar Biasa Negeri  Batang, Jl. Pemuda Kadilangu.

Sebagaimana ia tuturkan, Kang Hikmat – begitu ia biasa disapa – terlahir sebagai *amputee*. Seorang *amputee* adalah seseorang yang mengalami kondisi dimana saat ia lahir, salah satu bagian tubuhnya (kaki atau tangan) harus diamputasi karena pertimbangan medis.

Mohammad Hikmat saat bersama Inul Daratista (Foto: Instagram/moh_hikmat)



“Dulu, ibu saya mengalami kehamilan beresiko di usia 40 tahun”, ungkap Hikmat. “Waktu itu, ibu saya juga tidak tahu kalau dirinya hamil, sehingga beliau masih mengkonsumsi pil KB hingga usia kandungan 5 bulan”, imbuhnya.

“Kebetulan waktu itu ayah juga seorang penyuluh KB, sehingga ada semacam intensi untuk menjadi contoh bagi masyarakat”, ujar Hikmat mencoba mengingat-ingat. “Saat itu pemerintah orde baru kan  juga sedang galak-galaknya sosialisasi alat kontrasepsi”, tuturnya.

Kenyataan bahwa kaki anaknya harus diamputasi meski baru saja lahir, diterima orang tua Hikmat dengan lapang dada. “Sejak saya kecil, kedua orang tua saya  mengasihi dan mengajarkan saya sebagaimana layaknya manusia normal, waktu itu saya juga tak pernah merasa diri saya sebagai disabilitas”, ungkap Hikmat.

“Orang-orang di sekitar saya seperti keluarga dekat, teman sekolah atau sepermainan juga bersikap sama seperti orang tua saya”, Hikmat bercerita.

“Waktu kecil terutama hingga saya lulus SD saya benar-benar diperlakukan sebagaimana anak-anak lain pada umumnya”, ujar Hikmat menambahkan.

Berdasarkan ceritanya, awalnya Hikmat “ngesot” saat beraktivitas. “Sejak kecil saya ‘ngesot’ sampai kira-kira saya kelas 4 SD”, tandasnya. Lalu setelah kelas 4, ia mulai menggunakan skateboard sebagai alat bantu.

“Awalnya saya melihat sepupu yang suka main skateboard, lalu saya tertarik dan akhirnya dibelikan skateboard oleh orang tua”, kata Hikmat. Semenjak itu, Hikmat selalu menggunakan skateboard sebagai alat bantu beraktivitas.

Saat ditanya kenapa tidak memilih kursi roda, Hikmat menjawab bahwa skateboard baginya lebih fleksibel. Ia menjadi lebih bebas bergerak dan menurutnya lebih ringkas.

Moh. Hikmat saat diwawancarai oleh Infobatang di SLB Negeri Batang
(Dok. Infobatang)



“Selama SD, saya benar-benar mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Teman-teman dan para guru benar-benar memperlakukan saya seakan saya bukan penyandang disabilitas”, ujar Hikmat. “Waktu itu saya juga seakan gak ada capeknya, karena saya selalu ikut bermain, apapun permainan yang teman-teman saya lakukan”, terangnya.

Menginjak SMP, Hikmat mengaku apa yang ia rasakan sedikit berbeda. “Semasa SMP, saya memang tidak pernah sampai *dibully*, tapi saya merasakan ada sedikit perlakuan berbeda”, katanya. “Agak canggung aja, tidak seperti saat saya masih SD, saya mulai merasa diperlakukan  sebagai penyandang disabilitas”, ujar Hikmat.

Hal ini terjadi karena saat memasuki  SMP ia mulai keluar dari kampungnya. “Semasa SMP hingga SMA, jarak sekolah memang agak jauh, jadi saya harus naik angkot”, ungkap Hikmat.

Hikmat bersama Tretan Muslim (Instagram/moh_hikmat)



Saat menaiki angkot itulah Hikmat merasakan beberapa kali mendapat perlakuan yang membuatnya tidak nyaman. “Misal ada anak kecil di angkot bareng lalu bilang ke temannya, ‘eh itu kok nggak ada kakiknya ya’, seperti itu”, Hikmat bercerita. Saat itu Hikmat  mulai merasakan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan yang lain.

“Puncaknya, sewaktu SMA, saya pernah  dicegat lalu dikerubuti oleh anak-anak kecil, dan mereka menyoraki saya”, kenang Hikmat. “Saat itu saya benar-benar terpukul”, ungkapnya. Pasca kejadian tersebut, Hikmat sempat terpuruk.

Semenjak kejadian itu, Hikmat mulai mempertanyakan eksistensi dirinya. “Apa gunanya saya hidup”, ujarnya menirukan suara batin saat itu.

Hikmat jadi sering melamun. Ia pun mulai mencari pelarian. Sesuatu atau tempat dimana ia bisa mencurahkan semua isi hatinya. Untungnya tempat yang ia jadikan pelarian waktu itu adalah musholla.

“Pasca kejadian tersebut, saya memang jadi rajin ke musholla”, kenang Hikmat. Di sana ia tak hanya melakukan sholat, namun juga bertafakur.

“Saya sempat bertanya dalam hati, bertanya kepada Tuhan kenapa saya seperti ini”, ujar Hikmat.

“Tuhan, apa salah saya hingga menjadi begini? Kalau memang ini kesalahan orang tua hamba, kenapa hal ini terjadi kepada hamba? Bukan ke anak yang lain”, kenang Hikmat menirukan suara hatinya saat itu.

Hikmat lalu meminta kepada Tuhan. “Kalau memang Engkau berkuasa, tolong tumbuhkan kaki hamba”, pinta Hikmat. Ia lantas menangis.  Tak lama, Hikmat pun tertidur di musholla tersebut.

Sekitar pukul 11 malam ia terbangun. Ia masih tertegun. Hikmat mengusap air mata di pipinya. Ia pun bermunajat,

“Ya Allah, saya capek, saya terima keadaan ini dan saya berjanji tidak akan protes lagi dan tidak akan membahas kekurangan fisik ini, tapi tolong beri saya 3 kekuatan (doa) yang harus dikabulkan”, pinta Hikmat.

Tiga doa  yang Hikmat panjatkan saat itu adalah. Yang pertama, dirinya meminta agar Tuhan “menulikan” telinganya saat ada yang berbisik-bisik negatif tentang dirinya. Lalu yang kedua, ia meminta agar kondisi yang saat ini ia alami (disabilitas) menimpa kepada keturunannya sebanyak 7 turunan. Kepada orang-orang yang ia sayangi.

Lalu yang ketiga, Hikmat meminta agar ia diberi kesempatan untuk membuktikan kepada orang tuanya bahwa dirinya bisa sekolah, bisa kuliah, bisa bekerja, bisa menikah, bisa punya anak seperti orang-orang pada umumnya. Tak lama setelah itu, Hikmat pun berujar kepada ibunya, “Tenang Mah, saya bisa seperti orang lain pada umumnya”.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *