Jasa Suruh Menjamur, Gen Z Berinovasi dan Menganggap Kemalasan sebagai Peluang

Maraknya “jasa suruh” di Batang menandai bentuk baru kewirausahaan lokal yang digerakkan generasi muda. Fenomena ini sebelumnya sempat viral secara nasional setelah kemunculan “Santo Suruh” yang dianggap sebagai pelopor yang mempopulerkan model bisnis ini.
Lewat akun-akun bermuatan kata “tolong/tulung” atau “suruh” di media sosial, model bisnis ini menjawab kebutuhan masyarakat yang makin sibuk dan menghargai efisiensi waktu. Di Batang, layanan ini telah menyebar ke berbagai kecamatan seperti Limpung, Banyuputih, Batang Kota, hingga Bandar. Mereka menawarkan jasa untuk berbagai hal, dari urusan kecil hingga mendesak, dengan sistem yang cair dan berbasis kepercayaan.
Meski sekilas tampak seperti bentuk modern dari “tolong-menolong”, sejatinya ini bukan praktik sosial tradisional. Istilah “tulung” hanyalah jargon atau strategi branding yang membungkus semangat bisnis. Para pelakunya bukan menjual kebaikan hati, melainkan menjual solusi—mengejawantahkan nilai sejati dari kewirausahaan, yaitu: membaca masalah lalu mengubahnya jadi peluang.

Namun, di balik sisi kreatifnya, model bisnis ini menyimpan kerentanan. Tanpa struktur dan regulasi yang jelas, posisi pelaku jasa suruh rentan disalahgunakan untuk kepentingan pihak yang tidak bertanggung jawab—mulai dari pengiriman barang ilegal hingga tindakan berbahaya lainnya.
Menjamurnya fenomena jasa suruh di Batang tentu bukan sekadar tren semata. Ia adalah cermin dari semangat wirausaha generasi muda yang lincah membaca peluang, sekaligus pengingat akan pentingnya membangun ekosistem yang aman bagi kerja informal. Lantas, bagaimana kita bisa mendorong kreativitas semacam ini agar tak hanya tumbuh, tetapi juga berkelanjutan dan terlindungi?