Kala Cewek Gen Z Kepo Sosok Pahlawan : Review Film ‘Mencari Jejak Mbah Rifa’i di Kabupaten Batang’

Buat sampeyan yang gabut di malam pergantian tahun, mending nonton film ini aja. Dijamin malam tahun baru sampeyan akan jauh lebih berkesan



BATANG, INFOBATANG.COM – Sebuah film dokumenter baru saja dirilis oleh komunitas Pegiat Literasi Batang melalui kanal YouTube. Film berjudul “Mencari Jejak Mbah Rifai di Kabupaten Batang” ini berisi napak tilas perjuangan pahlawan nasional yang berasal dari Kabupaten Batang K.H. Ahmad Rifa’i. Film ini diproduksi atas  kerja sama antara komunitas tersebut dengan Pemda Kabupaten Batang. 

Film ini mendokumentasikan berbagai peninggalan pahlawan nasional yang lahir di Tempuran, Kendal tersebut seperti kitab-kitab beraksara pegon, aneka relik seperti mangkok takar zakat fitrah (mud), ukiran kaligrafi, dan perabot rumah tangga.

Selain menampilkan berbagai peninggalan fisik, film ini juga menyorot warisan budaya yang berkembang di komunitas Rifa’iyah, seperti seni membatik. Perjuangan para murid K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak dalam merawat ajaran dan membangun organisasi Rifa’iyah juga disajikan dalam film yang berdurasi  1 jam 17 menit tersebut.

Suasana saat nobar di Pendopo Kabupaten Batang (Dok. Infobatang)



Film dibuka dengan adegan tiga orang gadis generasi z bernama Istri, Woro dan Ita yang sedang melakukan perjalanan dari Pranten, Bawang. Mereka baru mengunjungi salah satu objek wisata di tempat tersebut.

Di tengah perjalanan, Isti meminta mobil menepi untuk melakukan shalat. Bersama satu orang temannya yang bernama Woro, Isti mencari musholla.

Setelah turun dan berjalan kaki, kedua gadis tersebut menemukan sebuah bangunan mirip masjid yang ternyata sebuah museum. Di bangunan tersebut, Isti mendapati sebuah potret lukisan yang baginya familiar. Isti tumbuh di lingkungan keluarga Rifa’iyah, potret tokoh yang ada di lukisan tersebut juga terpampang di dinding rumahnya. Muncul rasa ingin tahu dalam diri Isti terkait sosok tersebut. Cerita pun mengalir mengikuti rasa ingin tahu Isti mengenai sosok yang ternyata adalah K.H. Ahmad Rifai Kalisalak.

Film ini menelusuri lokasi-lokasi penting dimana terdapat jejak Mbah Rifa’i. Secara kronologi, perjalanan dimulai dari Kalisalak, Limpung, Lalu ke Watesalit dan Kalipucang Wetan, Batang, Lalu ke Arjawinangun, Cirebon, dan berakhir di Tondano, Sulawesi Utara.

Selama perjalanan tersebut, berbagai tokoh diwawancarai. Dari mulai, Kepala Desa Kalisalak Setiadi, Peneliti Sejarah Prof. Abdul Djamil, Ketua PD Rifa’iyah H. Nur Khamid, penggiat batik rifa’iyah Miftakhutin, Ketua PP Rifa’iyah Dr. H. Mukhlisin Muzarie, M.Ag. dan para keturunan Kyai Ahmad Rifai di Kampung Jawa, Tondano, Sulawesi Utara.

Film Mencari Jejak Mbah Rifa’i di Kabupaten Batang (YouTube: Pegiat Literasi Batang)



Film yang naskahnya ditulis oleh Riyan Fadli ini mampu menampilkan secara apik berbagai lokasi masa lalu dan tokoh-tokoh masa sekarang yang berkelindan menceritakan kisah seputar Mbah Rifai. “Film ini memang mengisahkan para pemuda yang berusaha mencari tahu tentang K.H. Ahmad Rifa’i dengan menemui tokoh-tokoh yang mengetahui kisahnya”, ujar produser film Edo Muslikhun sebagaimana dikutip Infopublik.id (27/12/23). Cara sutradara Harviyan Perdana Putra dalam membangun cerita juga sangat baik. Selama menonton, kita akan disajikan pemandangan-pemandangan indah lokasi jejak Mbah Rifa’i yang diambil dengan kamera drone. Sesekali terdapat penekanan zoom in pada benda-benda atau kitab-kitab peninggalan yang tengah dibahas dalam format wawancara mendalam.

Pencarian Isti dimulai dari Desa Kalisalak, Limpung. Kepala desa setempat Setiadi S.Pd menceritakan tentang desa yang ia tinggali merupakan situs sejarah berusia ratusan tahun. “Desa Kalisalak melalui SK Bupati tahun 2002 memang telah ditetapkan sebagai desa wisata religi”, Ujar Setiadi. Dengan dibantu seorang perangkat desa bernama Saifurrohman, Isti diperlihatkan berbagai kitab karya Mbah Rifai di museum tersebut. Terdapat beberapa kitab tarajuman (berbahasa Jawa, beraksara Pegon) di museum tersebut. “Sebagian besar karya yang ada di sini adalah hasil salinan, kitab yang asli ada di Leiden, Belanda “, ujar Saifurrohman kepada Isti. “Kitab-kitab yang ada di sini juga telah diteliti oleh para akademisi baik dalam maupun luar negeri”, imbuh Kabag. Kesra Desa Kalisalak tersebut.

Selain kitab-kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i, di museum tersebut juga terdapat beberapa buku hasil penelitian. Salah satunya adalah karya Prof. Dr. H. Abdul Djamil, peneliti dari UIN Walisongo Semarang. Prof. Djamil telah meneliti sejarah Mbah Rifa’i hingga Leiden, Belanda. Selain itu, ada pula karya Yumi Sugihara peneliti dari Jepang yang meneliti manuskrip-manuskrip langka dari Nusantara Batang salah satunya manuskrip peninggalan Mbah Rifa’i.

Kepala Desa Kalisalak Setiadi menjelaskan bahwa keberadaan museum K.H Ahmad Rifai di desanya sangatlah tepat. Di masa lalu, desa Kalisalak merupakan pusat pergerakan dakwah Islam. “Setidaknya ada tiga tokoh yang hidup pada tiga zaman yang memiliki jejak di desa Kalisalak. Diantaranya Syekh Mukhidam Muhammad yang hidup pada 1610 M, lalu Habib Umar bin Yahya pada sekitar 1700-an M dan K.H. Ahmad Rifai yang juga telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional yang hidup pada sekitar 1843. “Desa Kalisalak juga telah ditetapkan sebagai desa wisata religi melalui S.K Bupati Batang yang diterbitkan tahun 2002 (era Bupati Bambang Bintoro).

Sosok Mbah Rifai, sebagaimana diceritakan dalam film, merupakan sosok yang multibakat. Ia merupakan tokoh yang serba bisa. Beliau banyak menulis kitab fikih yang digubah dalam bentuk syair berbahasa Jawa. Ia juga memiliki keterampilan pertukangan seperti membuat lemari dan perabot rumah tangga. Disamping itu, Mbah Rifa’i juga dikenal menghasilkan berbagai karya kaligrafi berbentuk ukiran yang hingga saat ini masih ada dan disimpan di berbagai tempat.

Sebagaimana dijelaskan Ketua PP Rifa’iyah Dr. H. Mukhlisin Muzarie M. Ag. dalam film, jika sebagian besar ulama melakukan upaya deduktif dalam dakwah. Mbah Rifa’i justru melakukan upaya induktif. Mbah Rifa’i tidak berangkat dari teks mentah yang disajikan kepada masyarakat awam, tapi beliau berangkat dari fenomena yang ada di masyarakat lalu mencari rujukan teksnya (dalam hal ini Al-Qur’an dan Hadits). Lalu beliau kemudian meramu sebuah media bacaan yang mempermudah kalangan awam dalam mengakses ajaran tersebut.

Kyai Ahmad Rifa’i Kalisalak dikenal memiliki karya yang monumental meskipun beliau memulai terjun ke masyarakat saat usia beliau lumayan senja, yaitu 51 tahun. Sebelumnya, sebagaimana diyakini para muridnya, selama 20 tahun beliau fokus mencari ilmu. 8 tahun di Mekah dan Madinah, lalu 12 tahun di Mesir. Meskipun memulai terjun ke masyarakat di usia yang cukup tua, Kyai Ahmad Rifa’i terbukti memiliki jejak ajaran yang mengakar di masyarakat. Kedekatannya dengan masyarakat bawah dan pergaulannya yang luas membuatnya mudah diterima.

Di sisi lain, sebagaimana dijelaskan Prof. Dr. Abdul Djamil, oleh pemerintah kolonial Belanda, Mbah Rifa’i justru dianggap sebagai sosok yang berbahaya. Terdapat beberapa arsip dokumen kategori rahasia yang menyatakan bahwa Mbah Rifa’i memberikan ajaran menghasut  masyarakat untuk membenci pemerintah kolonial. “Ada beberapa dokumen yang kami temukan di Balai Arsip Den Haag yang mengungkapkan bahwa ada salah satu pejabat kolonial di Solo memberikan laporan tentang perilaku seorang Kyai bernama Ahmad Rifa’i Kalisalak yang dinilai menghasut masyarakat lewat karyatulis”, ujar Profesor yang pernah menjadi rektor UIN Walisongo Semarang tersebut. “Bahkan dalam laporan tersebut juga ditulis nama-nama kitabnya sebagai rujukan seperti misalnya kita Syarihul Iman”, imbuh Prof. Djamil.

Buntut dari laporan tersebut, melalui peraturan pemerintah kolonial, Mbah Rifai diasingkan ke Ambon. “Maksud dari dibuangnya beliau adalah untuk memutus mata rantai loyalitas pengikutnya”, ujar Prof. Jamil.

Meskipun begitu, murid-murid beliau tetap memegang teguh ajaran dan wejangan Mbah Rifa’i. Bahkan hingga ratusan tahun kemudian.

Murid-murid Mbah Rifa’i selama bertahun-tahun merawat ajaran, kitab-kitab dan berbagai benda atau relik peninggalan kyai yang dimakamkan di Tondano, Sulawesi tersebut. Proses pencarian makam Mbah Rifa’i pun bukan sesuatu yang mudah. Para murid melakukan pencarian setidaknya selama 17 tahun.

Hingga rezim orde baru berkuasa, sisa-sisa kebijakan pemerintah kolonial terhadap sosok maupun perilaku Mbah Rifa’i masih tertanam dalam birokrasi. Pada tahun 1981, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pernah melarang peredaran kitab Riayatul Himmah karya Mbah Rifa’i. Menurut Ketua PP Rifa’iyah, Dr. H. Mukhlisin, M.Ag., perjuangan agar keputusan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah tersebut ditinjau kembali juga cukup panjang dan berliku. Proses perjuangan berlangsung selama bertahun-tahun dan melibatkan berbagi upaya dialog dengan berbagai instansi baik daerah maupun pusat.

Pada 1990, diadakan sebuah seminar di Yogyakarta tentang perjuangan dan pemikiran Mbah Rifa’i. Seminar tersebut memberikan rekomendasi perlunya didirikan sebuah organisasi yang menampung para murid dan pecinta pemikiran Mbah Rifai di berbagai pelosok. Tak lama oraganisasi Rifaiyah pun berdiri.

Puncaknya, pada 2004 K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak ditetapkan sebagai pahlawan nasional. “Perubahan sikap pemerintah dari yang semula menganggap Mbah Rifa’i sebagai tokoh berbahaya, dan kemudian menetapkannya sebagai pahlawan nasional ini sangat penting untuk dicatat”, ujar Dr. Mukhlisin.

Selama kurang lebih 200 tahun murid-murid Kyai Ahmad Rifa’i Kalisalak merawat ajaran-ajaran gurunya. Beberapa diantaranya telah menjadi tradisi dan memperkaya khasanah budaya masyarakat. Warga Rifa’iyah, sebagaimana kini banyak tinggal di Kalipucang Wetan (Kec. Batang), Tambakboyo (Kec. Reban), dan Kalisalak (Kec. Limpung) memiliki ragam budaya khas. “Salah satunya adalah bentuk rumah yang memiliki dua pintu, yaitu pintu depan dan samping, dengan maksud pintu depan untuk tamu laki-laki, dan pintu samping untuk kaum wanita”, ujar Ketua PD. Rifaiyah Batang H. Nur Khamid.

Warga Rifa’iyah juga kerap melantunkan kitab-kitab Mbah Rifai yang berbentuk syair atau tembang (nadhom). Kegiatan ini biasanya dilakukan saat berada di majelis ilmu, menunggu iqomat saat shalat berjamaah atau bahkan kegiatan lain seperti membatik.

Sebagaimana diketahui, kegiatan membatik telah mengakar pada komunitas Rifaiyah, khususnya kaum wanita. “Semua kain batik motif Rifaiyah merupakan hasil karya kaum wanita, tak ada sentuhan tangan laki-laki di situ, bahkan untuk kegiatan yang terbilang berat seperti *nglorod* sekalipun”, ujar penggerak batik Rifaiyah dari Kalipucang Wetan Miftakhutin.

Miftakhutin sebagaimana terekam dalam film mengungkapkan beberapa keunikan tradisi membatik di komunitas Rifaiyah. Selain semua dikerjakan oleh wanita, terdapat beberapa keunikan lain. Salah satunya, saat membatik biasanya ibu-ibu tersebut akan melantunkan syair tarajuman yang berasal dari kitab-kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i. Bagi komunitas Rifa’iyah, membatik bukan hanya sebuah kegiatan ekonomi atau mengisi waktu luang semata, tapi membatik juga menjadi sebuah laku spiritual.

Masih banyak keunikan-keunikan lain batik rifaiyah sebagaimana dijelaskan Miftakhutin. Pembahasan terkait batik Rifaiyah kiranya secara khusus perlu disajikan dalam tulisan terpisah. Sementara, bagi anda yang bingung mencari kegiatan saat menanti pergantian tahun, anda bisa menonton film ini sebagai kegiatan alternatif. Proses penuturan berlangsung secara runtut dan ringan sehingga informasi mudah dicerna.

Film ini jelas wajib tonton bukan hanya bagi warga Kabupaten  Batang, namun juga bagi para peminat sejarah,  atau bahkan masyarakat  umum dengan berbagai latar belakang. Dengan menonton film ini, kita akan memperoleh inspirasi dari sosok pahlawan nasional yang pernah hidup ratusan tahun lalu namun hasil karyanya masih bisa dinikmati hingga sekarang.  Berbagai khasanah yang ditampilkan dalam  film akan memperkaya wawasan yang boleh jadi bermanfaat dalam mengarungi tahun-tahun mendatang. (bersambung/FU)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *