Lebaran, Leburan, Laburan, Luberan dan Liburan


Oleh : Fiza Umami

Hari ini, beberapa kawan telah berlebaran. Semalam tak lagi sholat tarawih. Hari ini tak lagi puasa. Pagi tadi berbondong-bondong sholat Id di lapangan. Kepada kawan-kawan tersebut, kami ucapkan selamat. Cuma, kalau siang ini kalian makan lontong opor, please deh, tolong ya, yang lagi puasa jangan diiming-imingi dulu 😅

Bagi kawan-kawan yang berlebaran besok Sabtu, tetaplah semangat. Jangan sampai mokel hanya karena sampeyan melihat hari ini sudah ada yang makan ketupat sayur. Sebentar lagi sampeyan sampai di garis finish. Dalam beberapa jam lagi sampeyan juga akan berlebaran.

Banyak yang bilang, istilah lebaran, berasal dari kata “lebar” yang berarti bubar. Bubar sudah taraweh bareng. Bubar sudah nderes bareng. Bubar sudah buka bareng. Semua kehangatan Ramadhan berangsur pergi. Betapa beruntungnya orang-orang yang telah terukir dalam dirinya didikan Ramadhan.

Lebaran bisa juga berarti leburan, yaitu bubar dan leburnya semua kesalahan. Terutama kepada sesama manusia. Saling memaafkan saat hari raya Idul Fitri adalah ajaran khas agama Islam yang unik. Ajaran ini menyasar titik paling vital dalam hal relasi sesama manusia. Yaitu sikap tulus dan rela dalam sebuah hubungan.

Terkait hal ini, para ulama dan leluhur terdahulu di Nusantara telah memberikan warisan yang sangat berharga. Yaitu tradisi berkirim ketupat. Orang-orang Nusantara, terutama masyarakat Jawa, secara budaya terkenal sungkanan, dan terbiasa ewuh-pakewuh. Sukar berbicara blak-blakan. Termasuk perkara maaf memaafkan ini.
Ketupat menjadi semacam proxy yang menghilangkan semua halangan tadi. Berkirim ketupat menjadi media untuk meminta maaf kepada pihak yang dikirimi. Bahkan tanpa berucap sepatah kata “maaf”.

Permintaan maaf disimbolkan dengan ketupat atau kupat. Karena ia juga bisa dimaknai “ngaku lepat (salah)”. Menerima permintaan maaf juga disimbolkan dengan mengisi kembali ajang (perkakas) makan dengan ketupat dan dikirim kembali. Sehingga ajang yang tadi dipakai untuk mengirim tak kembali dalam keadaan kosong. Ia kembali terisi. Permintaan maaf tak bertepuk sebelah tangan.

Lebaran juga bisa dimaknai sebagai laburan. Kita mulai semua dengan semangat baru. Dengan wajah baru. Dengan baju baru. Rumah-rumah yang warna catnya sudah kusam di-labur dengan warna baru. Tali ronce dipasang, hubungan dengan sesama manusia juga diikat dengan tali silaturahim baru.

Selanjutnya, Lebaran juga erat kaitannya dengan luberan. Zakat fitrah ditunaikan. Fakir miskin menerima zakat dengan gembira. Uang luber mengalir dari yang kaya kepada yang miskin, dari yang tua kepada yang muda, dari bos kepada karyawan. Berkah sumrabah.

Terakhir, lebaran juga menjadi momen liburan. Sejenak berhenti dari kesibukan kerja. Pulang kampung, sowan orang tua. Bertemu sanak saudara. Bertamasya melepas penat.

Namun, liburan jangan sampai berlebihan. Jangan sampai lupa daratan. Lupa kalau masih punya pekerjaan. Mangkir ngantor atau bolos sekolah.

Dalam sebuah cermahanya, Syekh Al Habib Dr. Taufiq R. Abildanwa Bin Yahya Al Madani Pekalongan pernah dawuh begini, “Jangan tangisi Ramadhan yang pergi, karena, entah panas atau hujan, dengan atau tanpa dirimu, tahun depan Ramadhan pasti akan tetap datang. Namun, tangisilah dirimu sendiri yang boleh jadi tahun depan belum tentu berjumpa dengannya”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *